Kita telah berada di penghujung tahun, dan sebentar lagi akan memasuki tahun baru, tahun 2021. Pertanyaan yang sering kali ditanyakan kepada pebisnis atau pun pengusaha, adalah: "Apakah Anda sudah membayar pajak Tahunan Badan?" Sering kali pengusaha lupa dalam memahami betapa pentingnya membayar pajak. Sehingga, membayar pajak bukan menjadi prioritas. Padahal, terdapat banyak manfaat ketika seseorang menunaikan kewajibannya dalam membayar pajak.
Membayar pajak adalah salah satu cara bagi Anda untuk berkontribusi membangun negara, tempat di mana Anda menjalankan bisnis yang memberikan pemasukan keuangan ke dompet Anda. Tanpa kerja sama dari Wajib Pajak untuk tekun membayar pajak, maka negara akan kehilangan kemampuannya untuk mendongkrak pembangunan, termasuk dari sisi infrastruktur. Sehingga secara tidak langsung akan berdampak pada bisnis yang Anda jalankan.
Berikut ini adalah fakta seputar SPT tahunan yang perlu Anda ketahui, mulai dari sanksi sampai dengan manfaatnya bagi Anda:
Pemerintah telah mencantumkan sanksi pajak berupa denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban pelaporan. Besarannya pun bermacam-macam, sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Contohnya, telat menyampaikan SPT Masa PPN, maka nominal denda yang dikenakan senilai Rp500.000. Sedangkan, telat dalam menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh), maka nominal denda yang dikenakan senilai Rp1 juta untuk wajib pajak badan dan Rp100.000 untuk wajib pajak per orangan.
2. Alasan Lapor SPT Pajak
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlukan atau Dianggap sebagai Penghasilan, SPT mempunyai fungsi sebagai suatu sarana bagi Wajib Pajak di dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
SPT juga berfungsi untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak baik yang dilakukan Wajib Pajak sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemotong/pemungut, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan dan pemungutan pajak yang telah dilakukan. Sehingga SPT mempunyai makna yang cukup penting baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajak.
3. Tidak Punya Penghasilan, Wajibkah Lapor SPT Tahunan?
Meski tidak lagi bekerja atau masuk dalam kategori Penghasilan Tidak Kena pajak (PTKP), wajib pajak tetap harus melaporkan SPT tahunan jika masih memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Selanjutnya, jika ingin menghilangkan kewajiban pelaporan SPT Tahunan, pihak yang bersangkutan bisa mendatangi KPP terdekat dan meminta petugas untuk menetapkan status Non Efektif (NE) pada wajib pajak tersebut, sehingga tidak ada lagi kewajiban terhadap wajib pajak untuk menyampaikan SPT setiap tahunnya.
4. Jumlah SPT WP Orang Pribadi yang Telah Melapor
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah mencatat ada sekitar 6 juta wajib pajak yang telah melaporkan SPT di seluruh Indonesia. Pelaporan SPT ini direncanakan akan berakhir hingga 31 Maret 2019.
"Sampai kemarin malam jumlah yang sudah diterima hampir 6 juta atau 5,97 juta (wajib pajak). Meningkat dibanding tahun lalu yang 5,4 juta. Berarti pertumbuhan secara agregat 10,7 persen," kata Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan (PKP) Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal ditemui di Gedung DJP, Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Dari hasil surveinya, pertumbuhan pelaporan SPT yang meningkat signifikan ini bersumber dari wajib pajak Orang Pribadi yang non pekerja. "Pertumbuhan terbesar itu yang ada di Orang Pribadi yang polos-polos. Polos itu maksudnya yang bukan pekerja. Itu pertumbuhannya sekitar 17 persen," ucapnya.
|
Fakta Seputar SPT Tahunan
|
Selain dari itu, ada pula aturan pajak yang berubah. Berikut di antaranya:
1. e-Billing dan Bebas PPh Final
DJP telah merilis e-Billing versi 2.0. Aplikasi yang dirancang guna mempermudah pembuatan kode billing karena data pembayaran massal dapat diunggah sekaligus ke aplikasi. Latar belakang penyediaan layanan pembuatan billing massal ini adalah volume pembuatan kode billing dan transaksi pembayaran yang tinggi oleh wajib pajak Bendahara atau BUMN dalam melakukan pembayaran pajak.
Tak lama setelah pemerintah membentuk Tim Reformasi Perpajakan, Menteri Keuangan mengeluarkan aturan tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan (PMK Nomor 261/PMK.03/2016).
Dari aturan ini masyarakat memperoleh beberapa manfaat, antara lain besaran tarif PPh Final menjadi lebih rendah dari sebelumnya 5% menjadi 2,5%. Pengenaan PPh Final itu dikecualikan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang pendapatannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), atas penjualan rumah atau tanah dengan nilai penjualan kurang dari Rp60 juta.
Terpenting lagi, aturan itu memberikan pembebasan PPh Final bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menghibahkan atau mewariskan aset propertinya kepada keluarga sedarah atau untuk organisasi sosial dan keagamaan.
2. Tak Perlu Surat Setoran Pajak (SSP)
Tahukah Anda lapor SPT melalui e-Filling tak perlu SSP lagi? Ya, baru-baru ini DJP telah merilis Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2019. Aturan ini meringankan beban administrasi wajib pajak mengenai kewajiban penyampaian SPT melalui e-Filing, sehingga diharapkan dapat memberi kemudahan masyarakat dalam lapor SPT.
SPT Tahunan 1770S dan 1770SS dengan status nihil atau kurang bayar yang dilaporkan via e-Filing, tidak perlu lagi dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen pendukung seperti SSP. Pengecualian dari kewajiban menyampaikan SSP sebagai lampiran SPT melalui e-Filing ini berlaku bagi semua jenis SPT yang disampaikan melalui e-Filing, selama Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) telah dicantumkan.
Selain itu, tersedianya fasilitas e-Form yang dapat diisi dan disimpan secara offline dan setelah selesai diisi diunggah ke sistem DJP. Kemudahan layanan diberikan dalam bentuk semua jenis SPT, termasuk SPT Pembetulan dan SPT Masa lebih bayar, dapat diterima di Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan layanan di luar kantor.
3. Bukti Pemotongan Elektronik (e-Bupot)
Implementasi e-Bupot guna mempermudah dan meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak agar dapat membuat bukti pemotongan di mana saja dan kapan saja, serta dapat menyampaikan SPT secara e-Filing(Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2017).
Pemberlakuan e-Bupot hanya untuk PPh Pasal 23 dan Pasal 26, di mana e-Bupot PPh 23 dan 26 dapat membuat e-Billing langsung sesuai kode MAP-KJS atas bukti pemotongan yang telah dibuat. Wajib Pajak tidak perlu lagi melampirkan dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT (SSP, Pbk, SKB, dan SKD), melainkan hanya perlu memasukkan nomor dokumen yang akan divalidasi oleh sistem.
Aplikasi e-Bupot juga telah menyediakan fitur QR Code pada bukti pemotongan dan Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) SPT yang di dalamnya memuat data yang dapat ditelusuri oleh pihak pemotong dan pihak yang dipotong. Juga telah menyediakan menu impor bukti pemotongan (dalam format excel) bagi wajib pajak dengan banyak transaksi.
Tujuan aplikasi e-Bupot ini ialah memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam membuat dan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26, di mana pembuatan bukti potong PPh Pasal 23/26 akan menggunakan aplikasi e-Bupot 23/26 yang ada di dalam laman djponline.pajak.go.id.